Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Sampai sebelum masa pandemi tahun 2020, saya tidak pernah merasa benar-benar terkesan dengan feminisme. Pandangan saya tentang feminisme masihlah dicemari obrolan tongkrongan yang mengatakan hal-hal seperti "feminis adalah orang-orang yang kekurangan selera humor" atau "feminis disuruh jadi tukang bangunan juga paling gak mau". Apalagi saya besar dalam lingkungan keluarga yang lumayan patriarkis dengan figur ayah sebagai sentral. Sementara ibu, yang aktif berkarir, memikul beban ganda dengan mengurusi rumah tangga dan anak-anak. Persentuhan saya dengan feminisme yang cukup intens dimulai dari undangan untuk mengisi kegiatan Komunitas Mahasiswa Filsafat (Komafil) Universitas Indonesia secara online di masa pandemi. Waktu itu kalau tidak salah saya diminta membawakan materi tentang gender dan seni. Sungguh undangan yang salah alamat, pikir saya. Dengan penuh keraguan akhirnya saya menyelami teks Linda Nochlin yang berjudul Why Have There Been No Great Women Artists