(Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p
Lebaran adalah momen menghitung. Menghitung uang untuk jadi perbekalan, menghitung jumlah makanan, menghitung sanak saudara yang harus dikunjungi, menghitung durasi perjalanan mudik, serta menghitung siapa yang masih tinggal dan siapa yang telah pergi. Lebaran punya nilai religius, tentu saja, sebagai suatu ujung dari perjuangan sebulan penuh dalam menahan hawa nafsu di bulan Ramadhan. Meskipun soal hawa nafsu ini kadang dikekang sementara saja, semacam formalitas, yang membenarkan kita untuk melakukan "kompensasi" dalam bentuk konsumerisme gila-gilaan. Kapitalisme "memberi jalan" bagi orang-orang yang kesulitan untuk mengartikan konsep fitrah, agar diwujudkan dalam bentuk-bentuk barang atau momen yang merepresentasikan hal itu, yang membuat konsep fitrah menjadi "tampak", misalnya: baju baru, hidangan yang berbeda dari hari-hari biasanya, atau halal bi halal dengan menyewa ruang pertemuan atau restoran. Lagi-lagi, lebaran adalah soal menghitung. Bagi tok